Legenda Batu Bagga
Tolitoli adalah salah satu nama
kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Di kabupaten yang
terkenal sebagai penghasil rempah-rempah berkualitas ini terdapat sebuah
batu yang melegenda di kalangan masyarakat setempat. Konon, batu
tersebut merupakan jelmaan sebuah perahu bagga (perahu layar), sehingga
disebut batu bagga. Peristiwa apakah yang telah menyebabkan perahu bagga
itu menjelma menjadi batu? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita
Legenda Batu Bagga berikut ini.
* * *
Konon, di sebuah kampung di daerah pesisir Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah seorang duda bernama Intobu. Ia tinggal di sebuah gubuk bersama seorang putranya yang bernama Impalak. Mereka hidup sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka pergi ke laut untuk mencari ikan.
Pada suatu malam, ketika Intobu bersama anaknya hendak mencari ikan di laut, tiba-tiba angin bertiup kencang dan hujan deras. Meskipun demikian, dua orang bapak dan anak itu tetap memutuskan untuk melaut. Dalam perjalanan menuju ke laut, Intobu menasehati Impalak.
‘Anakku! Ayah berharap jangan sampai cuaca buruk seperti ini membuatmu patah semangat untuk pergi melaut, karena hanya pekerjaan inilah yang menjadi tumpuan hidup kita.”
“Iya, Ayah! Saya mengerti,” jawab Impalak sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Sesampai di pantai, mereka segera menaiki sampan yang ditambatkan di tepi pantai. Dengan sekuat tenaga mereka mendayung sampan menyusuri pantai. Mereka tidak berani sampai ke tengah laut, karena cuaca sangat buruk. Mereka hanya memancing ikan di sekitar pantai. Tidak terasa, malam semakin larut. Mereka pun memutuskan untuk kembali ke gubuk.
Setiba di gubuk, beberapa ekor ikan hasil tangkapannya digoreng untuk lauk dan selebihnya mereka jual pada keesokan harinya. Ikan-ikan tersebut mereka jajakan dari rumah ke rumah sampai habis terjual. Setelah semuanya laku terjual, uang hasil penjualan itu mereka belanjakan untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Begitulah pekerjaan mereka setiap hari yang sudah bertahun-tahun jalani.
Rupanya pekerjaan itu membuat Impalak menjadi jenuh. Ia ingin pergi merantau ke negeri lain untuk merubah nasib. Sejak itu, ia selalu murung dan merenung. Ia tidak berani menyampaikan keinginan itu kepada ayahnya. Selain itu, ia juga belum tega meninggalkan ayahnya seorang diri. Meskipun tekadnya ingin pergi merantau begitu kuat, ia tetap berusaha memendamnya dalam hati.
Pada suatu hari, ayahnya sedang sibuk memperbaiki tali kailnya yang putus. Sementara, Impalak yang duduk di sampingnya hanya duduk termenung.
“Hei, Impalak! Kenapa wajahmu murung seperti itu? Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?” tanya Intobu kepada anaknya.
“Tidak apa-apa, Ayah!” jawab Impalak dengan nada lemah.
“Bicaralah, Nak! Tidak usah kamu pendam dalam hati!” desak ayahnya.
Oleh karena terus didesak, akhirnya Impalak berterus terang kepada ayahnya.
“Maafkan saya, Ayah! Sebenarnya saya sudah jenuh menjadi nelayan. Walaupun setiap hari kita ke laut, tapi hasil yang kita peroleh hanya cukup untuk dimakan,” keluh Impalak kepada ayahnya.
“Jika Ayah mengizinkan, Impalak ingin pergi merantau ke negeri lain untuk mengubah nasib kita,” sambung Impalak.
Intobu terkejut mendengar permintaan anak semata wayangnya itu.
“Bagaimana dengan nasib Ayahmu ini, Nak? Umur Ayah sudah semakin tua. Jika kamu pergi, tidak ada lagi yang membantu Ayah untuk mendayung sampan,” kata Intobu mengiba kepada anaknya.
“Saya mengerti, Ayah! Tapi, saya sekarang sudah dewasa. Sudah saatnya saya membahagiakan Ayah. Jika Ayah pergi melaut, sebaiknya tidak perlu pergi jauh-jauh. Biarlah saya yang bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kita dan demi masa depan saya,” jelas Impalak meyakinkan ayahnya.
Mendengar penjelasan anaknya itu, Intobu terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa apa yang dikatakan anaknya itu memang benar. Jika hanya menjadi nelayan, kehidupan anaknya di masa depan tidak akan makmur.
“Baiklah, Nak! Meskipun dengan berat hati, Ayah mengizinkanmu pergi merantau. Tetapi, kamu jangan lupakan Ayah dan cepatlah kembali! Ayah khawatir tidak akan bertemu kamu lagi, apalagi umur Ayah sudah semakin tua,” kata Intobu dengan perasaan cemas.
“Baik, Ayah! Saya akan selalu mengingat pesan Ayah,” jawab Impalak dengan perasaan gembira.
Setelah mendapat izin dari ayahnya, Impalak segera ke pelabuhan untuk melihat apakah ada perahu bagga yang sedang berlabuh. Sesampai di pelabuhan, tampaklah sebuah perahu bagga sedang menurunkan muatan. Perahu itulah yang rencananya akan ditumpangi Impalak pergi merantau. Ia pun segera menemui pemilik perahu bagga itu.
“Permisi, Tuan! Bolehkah saya ikut berlayar bersama Tuan?” tanya Impalak tanpa rasa segan.
“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa hendak ikut berlayar bersamaku?” tanya pemilik perahu.
“Saya Impalak, Tuan! Saya ingin pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga saya,” jawab Impalak.
“Memang apa pekerjaannya orang tuamu?” tanya pemilik perahu.
“Ayah saya seorang nelayan biasa, sedangkan ibu saya sudah meninggal saat saya masih kecil. Setiap hari saya membantu ayah memancing ikan di laut. Akan tetapi, hasilnya hanya cukup untuk di makan sehari-hari. Makanya saya ingin pergi merantau untuk mencari nafkah yang lebih baik,” jelas Impalak.
Mendengar penjelasan itu, pemilik perahu itu pun tersentuh hatinya ingin menolong Impalak dan bersedia membawanya ikut berlayar.
“Kamu memang anak yang berbakti, Impalak! Besok pagi kita akan berlayar bersama. Tapi, apakah kamu sudah meminta izin kepada ayahmu?” tanya pemilik perahu.
“Saya sudah mendapat izin dari ayah saya, Tuan!” jawab Impalak.
“Baiklah, kalau begitu! Saya tunggu kamu besok pagi,” kata pemilik perahu itu.
“Terima kasih, Tuan!” ucap Impalak seraya berpamitan pulang.
Sesampai di gubuk, Impalak segera menyampaikan berita gembira itu kepada Ayahnya.
“Ayah, saya sudah menghadap kepada pemilik perahu bagga. Dia bersedia mengajak saya berlayar bersamanya,” lapor Impalak kepada ayahnya dengan perasaan gembira.
“Ya, syukurlah kalau begitu, Nak! Nanti malam siapkanlah segala keperluan yang akan kamu bawa!” seru ayahnya sambil tersenyum pilu.
Keesokan paginya, Impalak sudah siap untuk berangkat. Ia diantar oleh ayahnya ke pelabuhan. Sesampai di pelabuhan, perahu bagga yang akan ditumpangi tidak lama lagi akan berangkat. Tampak si pemilik perahu berdiri di atas anjungan berteriak memanggil Impalak.
“Impalak...! Ayo cepat...! Perahunya sebentar lagi berangkat...”
“Baik, Tuan!” jawab Impalak seraya berpamitan kepada ayahnya.
“Ayah! Saya harus berangkat sekarang, jaga diri Ayah baik-baik!”
“Iya, Nak! Jangan lupakan Ayah, Nak!”
“Baik, Ayah! Saya akan selalu ingat pesan Ayah,” kata Impalak sambil mencium tangan ayahnya.
Suasana haru pun menyelimuti hati ayah dan anak itu. Tidak terasa, Impalak meneteskan air mata. Demikian pula sang Ayah, air matanya berlinang tidak kuat menahan rasa haru.
“Impalak...! Ayo kita berangkat!” terdengar lagi teriakan pemilik perahu memanggil Impalak.
“Ayah, saya berangkat dulu,” jawab Impalak kemudian bergegas menuju ke perahu bagga.
“Kalau sudah berhasil cepat pulang ya, Nak!” teriak sang Ayah sambil melayangkan pandangannya ke arah Impalak yang sedang berlari menuju ke perahu bagga.
Tidak berapa lama, Impalak sudah tampak berdiri di anjungan bersama pemilik perahu sambil melambaikan tangan. Sang Ayah pun membalas lambaian tangan anaknya sambil meneteskan air mata. Beberapa saat kemudian, berangkatlah perahu bagga itu. Setelah perahu bagga menghilang dari pandangannya, Intobu pun bergegas pulang ke gubuknya. Sejak kepergian anaknya, Intobu menjalani hari-harinya seorang diri sebagai nelayan.
Tidak terasa, sudah beberapa tahun Impalak merantau di negeri orang. Namun, ia tidak pernah memberi kabar kepada ayahnya. Hal itulah yang membuat ayahnya selalu gelisah menanti kedatangannya. Setiap ada perahu bagga yang berlabuh di pelabuhan, sang Ayah selalu berharap anak kesayangannya datang membawa rezeki, namun harapan itu tidak pernah terwujud.
Pada suatu hari, ayah Impalak mencari ikan di sekitar pelabuhan dengan menggunakan sampan. Tiba-tiba dari kejauhan, ia melihat sebuah perahu bagga hendak berlabuh di pelabuhan.
“Kenapa jantungku berdebar-debar begini? Jangan-jangan anakku ada di perahu bagga itu? Ah, tidak mungkin. Impalak benar-benar sudah melupakan aku,” ucap ayah Impalak berusaha menepis pikiran-pikiran itu.
Semakin lama perahu bagga itu semakin dekat dan semakin tampak jelas. Jantung ayah Impalak pun berdetak semakin kencang. Ketika perahu bagga itu melintas tidak jauh dari tempatnya memancing ikan, tiba-tiba ia melihat soeorang pemuda gagah bersama seorang wanita cantik berdiri di haluan perahu bagga. Keduanya adalah Impalak dan istrinya. Ternyata, selama berada di rantauan Impalak berhasil menjadi orang kaya dan beristri wanita cantik.
Oleh karena yakin bahwa pemuda itu adalah anaknya, tiba-tiba sang Ayah berteriak.
“Impalaaak....Anakku! Ini aku ayahmu!”
Impalak tahu bahwa lelaki tua yang memanggilnya itu adalah ayahnya. Namun karena malu kepada istrinya, ia berpura-pura tidak mendengar teriakan itu.
“Bang! Sepertinya orang itu memanggil nama Abang. Apakah dia itu ayah Abang?” tanya istrinya setelah mendengar teriakan lelaki tua itu.
“Bukan! Abang tidak mempunyai ayah sejelek lelaki tua itu,” jawab Impalak dengan kesal sambil memalingkan wajahnya.
“Tapi, bukankah orang tua itu mengaku kalau Abang adalah anaknya?” tanya istri Impalak.
“Dia itu hanya mengada-ada,” jawab Impalak dengan ketus.
“Sudahlah, Dik! Tidak usah hiraukan orang gila itu!” tambah Impalak.
Mendengar ucapan itu, istri Impalak pun langsung diam. Ia tidak ingin bertanya lagi tentang lelaki tua itu. Ia berpikir, barangkali suaminya benar bahwa lelaki tua itu adalah orang gila yang mengaku sebagai ayah dari suaminya.
Sementara ayah Impalak dengan sekuat tenaga terus mendayung sampannya mengejar perahu bagga yang ditumpangi Impalak. Ketika akan sampai di pelabuhan, tiba-tiba angin bertiup kencang. Sampan yang ditumpangi ayah Impalak terombang-ambing oleh gelombang besar. Ayah Impalak tidak sanggup lagi mengendalikan sampannya.
“Toloonng... ! Tolooong... aku Impalak!” teriak ayah Impalak meminta tolong.
Namun, malang nasibnya bagi lelaki tua itu. Impalak yang berada di atas perahu bagga itu justru tertawa terbahak-bahak melihatnya diombang-ambing gelombang laut.
“Ha..ha..ha...!!! Rasakanlah itu orang gila!”
Walaupun ayah Impalak berkali-kali berteriak meminta tolong, Impalak tetap tidak memperdulikannya. Perahu yang ditumpangi Impalak justru semakin menjauhinya. Hati lelaki tua itu hancur karena diabaikan oleh anak kandungnya sendiri. Ia sudah tidak tahan lagi melihat perilaku anaknya yang sudah tidak menaruh belas kasihan lagi kepadanya. Dengan mengangkat kedua tangannya, lelaki tua itu berdoa kepada Tuhan.
“Ya Tuhan! Hukumlah anak Hamba yang durhaka itu! Kutuklah perahu bagga yang ditumpanginya itu menjadi batu!”
Beberapa saat kemudian, angin bertiup dengan kencang, ombak laut bergulung-gulung menghantam perahu Impalak sehingga terdampar di pantai. Seketika itu pula, perahu bagga dan Impalak menjelma menjadi batu. Oleh masyarakat setempat batu itu kemudian diberi nama Batu Bagga.
* * *
Konon, di sebuah kampung di daerah pesisir Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah seorang duda bernama Intobu. Ia tinggal di sebuah gubuk bersama seorang putranya yang bernama Impalak. Mereka hidup sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka pergi ke laut untuk mencari ikan.
Pada suatu malam, ketika Intobu bersama anaknya hendak mencari ikan di laut, tiba-tiba angin bertiup kencang dan hujan deras. Meskipun demikian, dua orang bapak dan anak itu tetap memutuskan untuk melaut. Dalam perjalanan menuju ke laut, Intobu menasehati Impalak.
‘Anakku! Ayah berharap jangan sampai cuaca buruk seperti ini membuatmu patah semangat untuk pergi melaut, karena hanya pekerjaan inilah yang menjadi tumpuan hidup kita.”
“Iya, Ayah! Saya mengerti,” jawab Impalak sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Sesampai di pantai, mereka segera menaiki sampan yang ditambatkan di tepi pantai. Dengan sekuat tenaga mereka mendayung sampan menyusuri pantai. Mereka tidak berani sampai ke tengah laut, karena cuaca sangat buruk. Mereka hanya memancing ikan di sekitar pantai. Tidak terasa, malam semakin larut. Mereka pun memutuskan untuk kembali ke gubuk.
Setiba di gubuk, beberapa ekor ikan hasil tangkapannya digoreng untuk lauk dan selebihnya mereka jual pada keesokan harinya. Ikan-ikan tersebut mereka jajakan dari rumah ke rumah sampai habis terjual. Setelah semuanya laku terjual, uang hasil penjualan itu mereka belanjakan untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Begitulah pekerjaan mereka setiap hari yang sudah bertahun-tahun jalani.
Rupanya pekerjaan itu membuat Impalak menjadi jenuh. Ia ingin pergi merantau ke negeri lain untuk merubah nasib. Sejak itu, ia selalu murung dan merenung. Ia tidak berani menyampaikan keinginan itu kepada ayahnya. Selain itu, ia juga belum tega meninggalkan ayahnya seorang diri. Meskipun tekadnya ingin pergi merantau begitu kuat, ia tetap berusaha memendamnya dalam hati.
Pada suatu hari, ayahnya sedang sibuk memperbaiki tali kailnya yang putus. Sementara, Impalak yang duduk di sampingnya hanya duduk termenung.
“Hei, Impalak! Kenapa wajahmu murung seperti itu? Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?” tanya Intobu kepada anaknya.
“Tidak apa-apa, Ayah!” jawab Impalak dengan nada lemah.
“Bicaralah, Nak! Tidak usah kamu pendam dalam hati!” desak ayahnya.
Oleh karena terus didesak, akhirnya Impalak berterus terang kepada ayahnya.
“Maafkan saya, Ayah! Sebenarnya saya sudah jenuh menjadi nelayan. Walaupun setiap hari kita ke laut, tapi hasil yang kita peroleh hanya cukup untuk dimakan,” keluh Impalak kepada ayahnya.
“Jika Ayah mengizinkan, Impalak ingin pergi merantau ke negeri lain untuk mengubah nasib kita,” sambung Impalak.
Intobu terkejut mendengar permintaan anak semata wayangnya itu.
“Bagaimana dengan nasib Ayahmu ini, Nak? Umur Ayah sudah semakin tua. Jika kamu pergi, tidak ada lagi yang membantu Ayah untuk mendayung sampan,” kata Intobu mengiba kepada anaknya.
“Saya mengerti, Ayah! Tapi, saya sekarang sudah dewasa. Sudah saatnya saya membahagiakan Ayah. Jika Ayah pergi melaut, sebaiknya tidak perlu pergi jauh-jauh. Biarlah saya yang bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kita dan demi masa depan saya,” jelas Impalak meyakinkan ayahnya.
Mendengar penjelasan anaknya itu, Intobu terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa apa yang dikatakan anaknya itu memang benar. Jika hanya menjadi nelayan, kehidupan anaknya di masa depan tidak akan makmur.
“Baiklah, Nak! Meskipun dengan berat hati, Ayah mengizinkanmu pergi merantau. Tetapi, kamu jangan lupakan Ayah dan cepatlah kembali! Ayah khawatir tidak akan bertemu kamu lagi, apalagi umur Ayah sudah semakin tua,” kata Intobu dengan perasaan cemas.
“Baik, Ayah! Saya akan selalu mengingat pesan Ayah,” jawab Impalak dengan perasaan gembira.
Setelah mendapat izin dari ayahnya, Impalak segera ke pelabuhan untuk melihat apakah ada perahu bagga yang sedang berlabuh. Sesampai di pelabuhan, tampaklah sebuah perahu bagga sedang menurunkan muatan. Perahu itulah yang rencananya akan ditumpangi Impalak pergi merantau. Ia pun segera menemui pemilik perahu bagga itu.
“Permisi, Tuan! Bolehkah saya ikut berlayar bersama Tuan?” tanya Impalak tanpa rasa segan.
“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa hendak ikut berlayar bersamaku?” tanya pemilik perahu.
“Saya Impalak, Tuan! Saya ingin pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga saya,” jawab Impalak.
“Memang apa pekerjaannya orang tuamu?” tanya pemilik perahu.
“Ayah saya seorang nelayan biasa, sedangkan ibu saya sudah meninggal saat saya masih kecil. Setiap hari saya membantu ayah memancing ikan di laut. Akan tetapi, hasilnya hanya cukup untuk di makan sehari-hari. Makanya saya ingin pergi merantau untuk mencari nafkah yang lebih baik,” jelas Impalak.
Mendengar penjelasan itu, pemilik perahu itu pun tersentuh hatinya ingin menolong Impalak dan bersedia membawanya ikut berlayar.
“Kamu memang anak yang berbakti, Impalak! Besok pagi kita akan berlayar bersama. Tapi, apakah kamu sudah meminta izin kepada ayahmu?” tanya pemilik perahu.
“Saya sudah mendapat izin dari ayah saya, Tuan!” jawab Impalak.
“Baiklah, kalau begitu! Saya tunggu kamu besok pagi,” kata pemilik perahu itu.
“Terima kasih, Tuan!” ucap Impalak seraya berpamitan pulang.
Sesampai di gubuk, Impalak segera menyampaikan berita gembira itu kepada Ayahnya.
“Ayah, saya sudah menghadap kepada pemilik perahu bagga. Dia bersedia mengajak saya berlayar bersamanya,” lapor Impalak kepada ayahnya dengan perasaan gembira.
“Ya, syukurlah kalau begitu, Nak! Nanti malam siapkanlah segala keperluan yang akan kamu bawa!” seru ayahnya sambil tersenyum pilu.
Keesokan paginya, Impalak sudah siap untuk berangkat. Ia diantar oleh ayahnya ke pelabuhan. Sesampai di pelabuhan, perahu bagga yang akan ditumpangi tidak lama lagi akan berangkat. Tampak si pemilik perahu berdiri di atas anjungan berteriak memanggil Impalak.
“Impalak...! Ayo cepat...! Perahunya sebentar lagi berangkat...”
“Baik, Tuan!” jawab Impalak seraya berpamitan kepada ayahnya.
“Ayah! Saya harus berangkat sekarang, jaga diri Ayah baik-baik!”
“Iya, Nak! Jangan lupakan Ayah, Nak!”
“Baik, Ayah! Saya akan selalu ingat pesan Ayah,” kata Impalak sambil mencium tangan ayahnya.
Suasana haru pun menyelimuti hati ayah dan anak itu. Tidak terasa, Impalak meneteskan air mata. Demikian pula sang Ayah, air matanya berlinang tidak kuat menahan rasa haru.
“Impalak...! Ayo kita berangkat!” terdengar lagi teriakan pemilik perahu memanggil Impalak.
“Ayah, saya berangkat dulu,” jawab Impalak kemudian bergegas menuju ke perahu bagga.
“Kalau sudah berhasil cepat pulang ya, Nak!” teriak sang Ayah sambil melayangkan pandangannya ke arah Impalak yang sedang berlari menuju ke perahu bagga.
Tidak berapa lama, Impalak sudah tampak berdiri di anjungan bersama pemilik perahu sambil melambaikan tangan. Sang Ayah pun membalas lambaian tangan anaknya sambil meneteskan air mata. Beberapa saat kemudian, berangkatlah perahu bagga itu. Setelah perahu bagga menghilang dari pandangannya, Intobu pun bergegas pulang ke gubuknya. Sejak kepergian anaknya, Intobu menjalani hari-harinya seorang diri sebagai nelayan.
Tidak terasa, sudah beberapa tahun Impalak merantau di negeri orang. Namun, ia tidak pernah memberi kabar kepada ayahnya. Hal itulah yang membuat ayahnya selalu gelisah menanti kedatangannya. Setiap ada perahu bagga yang berlabuh di pelabuhan, sang Ayah selalu berharap anak kesayangannya datang membawa rezeki, namun harapan itu tidak pernah terwujud.
Pada suatu hari, ayah Impalak mencari ikan di sekitar pelabuhan dengan menggunakan sampan. Tiba-tiba dari kejauhan, ia melihat sebuah perahu bagga hendak berlabuh di pelabuhan.
“Kenapa jantungku berdebar-debar begini? Jangan-jangan anakku ada di perahu bagga itu? Ah, tidak mungkin. Impalak benar-benar sudah melupakan aku,” ucap ayah Impalak berusaha menepis pikiran-pikiran itu.
Semakin lama perahu bagga itu semakin dekat dan semakin tampak jelas. Jantung ayah Impalak pun berdetak semakin kencang. Ketika perahu bagga itu melintas tidak jauh dari tempatnya memancing ikan, tiba-tiba ia melihat soeorang pemuda gagah bersama seorang wanita cantik berdiri di haluan perahu bagga. Keduanya adalah Impalak dan istrinya. Ternyata, selama berada di rantauan Impalak berhasil menjadi orang kaya dan beristri wanita cantik.
Oleh karena yakin bahwa pemuda itu adalah anaknya, tiba-tiba sang Ayah berteriak.
“Impalaaak....Anakku! Ini aku ayahmu!”
Impalak tahu bahwa lelaki tua yang memanggilnya itu adalah ayahnya. Namun karena malu kepada istrinya, ia berpura-pura tidak mendengar teriakan itu.
“Bang! Sepertinya orang itu memanggil nama Abang. Apakah dia itu ayah Abang?” tanya istrinya setelah mendengar teriakan lelaki tua itu.
“Bukan! Abang tidak mempunyai ayah sejelek lelaki tua itu,” jawab Impalak dengan kesal sambil memalingkan wajahnya.
“Tapi, bukankah orang tua itu mengaku kalau Abang adalah anaknya?” tanya istri Impalak.
“Dia itu hanya mengada-ada,” jawab Impalak dengan ketus.
“Sudahlah, Dik! Tidak usah hiraukan orang gila itu!” tambah Impalak.
Mendengar ucapan itu, istri Impalak pun langsung diam. Ia tidak ingin bertanya lagi tentang lelaki tua itu. Ia berpikir, barangkali suaminya benar bahwa lelaki tua itu adalah orang gila yang mengaku sebagai ayah dari suaminya.
Sementara ayah Impalak dengan sekuat tenaga terus mendayung sampannya mengejar perahu bagga yang ditumpangi Impalak. Ketika akan sampai di pelabuhan, tiba-tiba angin bertiup kencang. Sampan yang ditumpangi ayah Impalak terombang-ambing oleh gelombang besar. Ayah Impalak tidak sanggup lagi mengendalikan sampannya.
“Toloonng... ! Tolooong... aku Impalak!” teriak ayah Impalak meminta tolong.
Namun, malang nasibnya bagi lelaki tua itu. Impalak yang berada di atas perahu bagga itu justru tertawa terbahak-bahak melihatnya diombang-ambing gelombang laut.
“Ha..ha..ha...!!! Rasakanlah itu orang gila!”
Walaupun ayah Impalak berkali-kali berteriak meminta tolong, Impalak tetap tidak memperdulikannya. Perahu yang ditumpangi Impalak justru semakin menjauhinya. Hati lelaki tua itu hancur karena diabaikan oleh anak kandungnya sendiri. Ia sudah tidak tahan lagi melihat perilaku anaknya yang sudah tidak menaruh belas kasihan lagi kepadanya. Dengan mengangkat kedua tangannya, lelaki tua itu berdoa kepada Tuhan.
“Ya Tuhan! Hukumlah anak Hamba yang durhaka itu! Kutuklah perahu bagga yang ditumpanginya itu menjadi batu!”
Beberapa saat kemudian, angin bertiup dengan kencang, ombak laut bergulung-gulung menghantam perahu Impalak sehingga terdampar di pantai. Seketika itu pula, perahu bagga dan Impalak menjelma menjadi batu. Oleh masyarakat setempat batu itu kemudian diberi nama Batu Bagga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar