Sudah sejak satu tahun terakhir ini, 
kurikulum pendidikan dasar dan menengah mengalami perubahan. Dalam 
setiap silabus yang disusun, harus dimasukkan unsur pendidikan karakter.
 Akhirnya, para guru pun mulai merevisi semua silabus, RPP dan segala 
jenis administrasi mengajar lainnya. Dalam setiap perencanaan mengajar, 
disisipkan indikator pendidikan karakter.
Sayangnya, pencanangan pendidikan 
karakter ini sepertinya tidak dibarengi dengan perencanaan yang matang, 
baik dari pihak pemerintah, selaku pemegang kebijakan tertinggi dalam 
hal pendidikan, dan juga dari pihak satuan pendidikan yang seolah-olah 
hanya mengikuti instruksi dinas pendidikan, sementara itu tidak 
menggodok secara matang pendidikan karakter seperti apa yang ingin 
dicapai. Lihat saja di jadual satuan mengajar dimana mata pelajaran 
pendidikan agama hanya mendapatkan porsi satu jam saja per minggunya. Di
 lain sisi, mata pelajaran sains dan matematika diberikan porsi dari 4 
hingga 7 jam! Jelaslah bahwa pendidikan di sekolah-sekolah lebih 
mengarah kepada kekuatan akademis dibanding karakter.
Pendidikan agama merupakan dasar bagi 
pendidikan karakter yang positif. Jika pembelajaran agama saja 
sedemikian sedikit waktunya  tentu berimbas pada perkembangan karakter 
anak didik kita. Walaupun tidak dipungkiri, pendidikan karakter ini juga
 sangat dipengaruhi oleh pendidikan di rumah mereka.
Selain itu, indikator karakter yang 
diterapkan di sekolah sangatlah berlebihan. Artinya banyak sekali 
indikator yang harus dicapai. Jika sudah begini, bagaimana kita bisa 
mengontrol setiap indikator yang dicapai peserta didik. Misalnya, dalam 
satu pertemuan, indikator karakternya adalah komunikasi, yang memiliki 
poin lebih kecil yaitu pembicara yang baik, pendengar yang baik, pembaca
 yang ekfektif, penulis yang baik dan bahasa tubuh yang baik. Sementara 
itu, di pertemuan berikutnya kita dipertemukan dengan indikator karakter
 lainnya misalnya jujur, dapat dipercaya, bekerja sama, santun. Kalau di
 setiap pertemuan saja, indikator karakter yang diharapkan berbeda-beda,
 bagaimana kita bisa melihat perkembangan satu indikator di setiap 
peserta didik.
Saya rasa kita harus belajar dari 
negara-negara maju. Di Inggris, peserta didik hanya mendapatkan mata 
pelajaran wajib sebanyak 5 sampai 6 subjek saja. Sisanya, mereka bisa 
mengambil mata pelajaran pilihan atau bebas sesuai dengan minat dan 
bakat. Ada pelajaran memasak, tata busana, musik, olah raga, dan 
lain-lain. Sehingga dari sini, kita bisa memantau dimana letak kekuatan 
peserta didik sehingga karakter yang terbetuk pun akan terlihat dengan 
jelas.
Kita cobakan saja indikator karakter 
yang kita canangkan cukup dua indikator saja dalam satu semester dan 
disamaratakan ke semua mata pelajaran. Misalnya: indikator semester 
pertama adalah jujur dan kerja sama. Maka dua karakter itulah yang kita 
bimbing dan pantau dengan berbagai cara. Ketika anak sudah mulai tidak 
jujur, kita harus benar-benar menyiapkan sanksi dan hukuman apa yang 
diterapkan, sehingga di semua pelajaran hal ini berlaku sama, tidak ada 
perbedaan penanganan. Kalau sudah begini, maka pendidikan karakter akan 
lebih terarah, terfokus dan guru akan lebih mudah memantau perkembangan 
di setiap peserta didik.
Sekarang ini, sekolah lebih banyak fokus
 ke nilai akademis saja, seolah-olah pendidikan karakter hanya sebatas 
pemanis dan belum mendapatkan tempat terpenting dalam penerapannya. Hal 
ini tentu harus mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak, pemerintan
 dan sekolah serta didukung oleh para guru dan peserta didik juga 
sehingga tujuan pendidikan yang berkarakter dapat tercapai. Kita tidak 
hanya menciptakan anak-anak yang cerdas secara kognitif tetapi juga 
lebih cerdas secara emosional dan akhlak.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar