Dengan langkah pasti, seorang anak muda  memasuki kamar hotel. Usianya 
kurang dari 20 tahun, namun profesinya  cukup mencengangkan, pelaku seks
 komersial pria alias gigolo. Kesulitan  ekonomi selalu menjadi alasan 
suburnya ladang kerja para gigolo muda  tersebut.  
Lantaran
 penasaran, penelusuran menuju daerah asal para gigolo muda  pun 
dimulai. Dua desa kecil di kawasan Boyolali, Jawa Tengah, menjadi  
tujuannya. Di Desa Cabean, penduduknya beraktivitas layaknya penduduk  
desa kebanyakan. Warga bergotong-royong membuat keranjang ayam.
  Siapa
 sangka. Begitu senja turun, para pembuat keranjang ayam  menjelma 
menjadi "kucing" alias gigolo. Rata-rata pemuda "desa kucing"  merupakan
 pelajar putus sekolah. Melalui mucikari atau bekerja seorang  diri, 
mereka menjajakan diri di pinggiran jalan. Targetnya, tante girang  dan 
om senang. Terdapat juga salon yang beralih fungsi sebagai tempat  
mempermak para gigolo.
Warga dan perangkat desa sepertinya tidak mengetahui aktivitas  
rahasia sejumlah pemuda desa. Terlepas dari itu semua, para pemuda desa 
 pastinya merasa sayang meninggalkan profesinya. Menurut salah seorang  
pemuda berusia 18 tahun, ia dibayar ratusan ribu rupiah untuk melayani  
om atau tante yang butuh pijat ekstra. Maksudnya tentu saja pelayanan  
seks.
  Desa lainnya yang menampung para gigolo muda adalah Desa 
Bakalan.  Letaknya di antara Boyolali dan Salatiga. Dengan kamera 
tersembunyi, tim  Sigi memasuki rumah seorang warga yang diduga sebagai 
kediaman makelar  gigolo muda. Rumah itu dikenal sebagai agency model 
salon. Tak butuh  lama bagi seorang makelar menyiapkan "kucing" 
belianya. Jika harga  disepakati, transaksi ditutup dengan hubungan seks
 di hotel atau lokasi  pilihan pelanggan.
  "Terus gimana" tanya 
seorang pelanggan. "Ya maksudnya mesti ngajarin  kalo 
dipegang-pegang...biasa. Tapi kalo main kan belum terlalu tahu,"  sahut 
si makelar. Inilah sepenggal percakapan yang direkam tim Sigi  dalam 
traksaksi gigolo di sebuah warung.
  Selanjutnya, anak muda desa 
dibawa ke Semarang. Terdapat sebuah  tempat yang kerap disebut-sebut 
sebagai persinggahan para gigolo, yaitu  daerah Pos Ponjolo. Melalui 
makelar juga para gigolo dikenalkan dengan  nuansa kota seperti mal dan 
pusat perbelanjaan lainnya.
  Terbukti, banyaknya remaja lelaki 
desa yang ingin mencoba dunia  esek-esek tidak lepas dari peran makelar 
yang mendatangi desa mereka.  Namun ada juga gigolo yang berani 
mempromosikan diri sendiri dengan  mengirim kode tertentu pada calon 
pelanggan. Para gigolo ini biasa  nongkrong di taman atau kafe. Bahkan, 
tak sedikit gigolo remaja yang  memanfaatkan kemajuan teknologi untuk 
mencari pelanggan.
  Kisah sepak terjang seorang pemuda menjadi 
gigolo pernah diangkat ke  layar lebar oleh sutradara Dimas 
Djayadiningrat. Dalam film berjudul  Quickie Express yang dirilis pada 
2007, Tora Sudiro memerankan pemuda  gigolo yang ingin hidup enak. 
Gigolo, sulit diberantas bukan berarti  harus dibiarkan begitu saja. 
Harus ada tindakan yang berarti untuk  mengurangi jumlah para gigolo. 
Keberadaan mereka bisa menciptakan  kondisi sosial yang kurang sehat di 
masyarakat.(Liputan6.com, Boyolali:)
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar